Akademik-Dugaan mempersulit balik nama sertifikat setelah pembayaran lunas Rp 350 juta oleh seorang dosen IAIN Ternate membuka kembali perdebatan penting mengenai perlindungan hukum pembeli dalam transaksi properti. Fenomena “uang lunas, sementara pengalihan hak dan kewajiban” seolah menjadi pola berulang yang menunjukkan lemahnya penghormatan terhadap asas kepastian hukum dalam masyarakat.
Dari perspektif hukum perdata dan aspek Yuridis Penundaan Balik Nama Sertifikat Pasca Pelunasan , hubungan jual beli properti bukan sekadar pertukaran uang dan bangunan, tetapi hubungan perikatan yang diatur ketat oleh norma dan asas hukum. Pasal 1457 KUHPerdata mendefinisikan jual beli sebagai perjanjian di mana satu pihak mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak lain membayar harga yang telah disepakati. Ketika pembeli telah melaksanakan kewajibannya membayar harga secara lunas, maka secara hukum kewajiban penjual untuk menyerahkan objek beserta hak kepemilikannya menjadi mutlak.
Kasus ini menjadi bermasalah karena, berdasarkan informasi yang beredar, pihak penjual telah mengakui menerima pelunasan pada bulan Maret 2024, namun proses balik nama sertifikat justru disebut mengalami hambatan. Jika hambatan tersebut bukan berasal dari faktor objektif (misalnya kendala administratif di BPN), melainkan hasil tindakan penjual yang secara sengaja menunda atau mempersulit proses, maka secara normatif perbuatan itu dapat dikualifikasi sebagai wanprestasi.
Rujukan untuk itu sangat jelas. Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menegaskan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Dengan demikian, mengabaikan kewajiban balik nama setelah pembayaran lunas tidak hanya melanggar etika bisnis, tetapi juga bertentangan langsung dengan kewajiban hukum yang tercantum dalam perjanjian tertulis atau kesepakatan lisan yang sah.
Selain itu, Pasal 1239 KUHPerdata menyatakan bahwa debitur (dalam konteks ini, penjual sebagai pihak yang berkewajiban menyerahkan hak kepemilikan) dapat dimintai pertanggungjawaban apabila lalai memenuhi perikatannya. Bentuk pertanggungjawaban tersebut tidak hanya menyangkut pemenuhan prestasi, tetapi juga tuntutan ganti rugi apabila keterlambatan atau pengingkaran mengakibatkan kerugian bagi pembeli termasuk kerugian materiil dan immaterial.
Wajib dibaca: https://halamansofifi.id/2025/12/05/perjanjian-dalam-perspektif-hukum-penolakan-dosen-iain-ternate-serahkan-dokumen-balik-nama-rumah-dinilai-bahmi-bahrun-sebagai-pemerasan/
Dari sudut pandang akademis, persoalan dalam kasus ini tidak berhenti pada perdata murni. Terdapat pelanggaran terhadap asas kepatutan (tegoeder trouw) dalam hukum kontrak, yaitu asas bahwa para pihak harus beritikad baik sebelum, saat, dan setelah pelaksanaan perjanjian. Ketika objek sertifikat dijadikan alat untuk menekan atau mempersulit pembeli setelah uang diterima, maka asas ini dilanggar secara terang-terangan.
Kita juga perlu menyoroti dimensi moral kasus ini. Penjual dalam perkara ini merupakan seorang dengan profesi dosen yang secara sosial diasosiasikan dengan kejujuran, keteladanan, dan akuntabilitas etis. Ketika figur akademisi justru diduga mengabaikan kewajiban hukum dan moral dalam transaksi sosial, maka ini bukan hanya kegagalan personal, tetapi juga pukulan bagi kepercayaan publik terhadap etika kaum intelektual.
Dengan demikian, ketika pembeli telah memenuhi kewajibannya secara penuh, penjual tidak memiliki ruang legal maupun moral untuk menahan proses balik nama sertifikat. Jika penjual tetap bersikeras menunda kewajiban tersebut, maka langkah pembeli untuk menempuh jalur hukum mulai dari somasi hingga gugatan wanprestasi bukanlah tindakan emosional, melainkan mekanisme perlindungan hak sebagaimana dijamin dalam undang-undang.
Kasus dosen IAIN Ternate ini harus menjadi pelajaran penting bahwa hukum perdata tidak boleh berhenti sebagai doktrin di ruang kuliah. Ia harus menjadi senjata perlindungan masyarakat dalam aktivitas ekonomi sehari-hari. Tanpa keberanian menegakkan hak berdasarkan perjanjian, budaya penyalahgunaan kepercayaan dalam transaksi properti akan terus berkembang.
Pada akhirnya, pelajaran normatif dari kasus ini dapat dirumuskan dalam satu kalimat yang tidak dapat dinegosiasikan bahwa Jika uang sudah diterima, hak kepemilikan harus diserahkan. Itu bukan kemurahan hati itu kewajiban hukum.

Tinggalkan Balasan