“Suatu Kritik Atas Rencana Kegiatan Perolehan HPL Badan Bank Tanah”

Opini- Dalam beberapa tahun terakhir, bank tanah muncul sebagai salah satu instrumen baru dalam tata kelola agraria dan pembangunan di Indonesia. Konsep ini diperkenalkan melalui Undang-Undang Cipta Kerja dan sejumlah peraturan turunannya, di mana bank tanah diproyeksikan sebagai solusi bagi masalah klasik; ketersediaan lahan untuk perumahan, infrastruktur, investasi, dan kepentingan publik. Bila dicermati, narasi yang dikembangkan pemerintah lewat bank tanah berpusat pada narasi efisiensi, ketertiban, dan modernisasi tata ruang.

Namun, di balik bahasa administratif itu tersimpan pertanyaan besar, apakah bank tanah benarbenar dimaksudkan untuk kepentingan publik, ataukah ia merupakan instrumen baru untuk memperkuat politik penguasaan ruang oleh negara dan modal? Apakah bank tanah sebagai proyek politik, ataukah semata perangkat teknokratis? Pertanyaan-pertanyaan ini penting digunakan sebagai asumsi dasar untuk menyoal eksistensi bank tanah, sebab pada dasarnya tanah tidak pernah netral, melainkan sebagai arena perebutan kekuasaan, identitas, ekonomi, dan masa depan. Di sini, keberadaan bank tanah dibaca bukan hanya sebagai kebijakan publik, tetapi sebagai modus pemerintahan (governmentality), yang membentuk cara negara mengatur dan mendefinisikan hidup warga negaranya.

Tanah dalam konteks Indonesia selalu terkait dengan sejarah panjang kekuasaan. Sejak masa kolonial, tanah menjadi alat pengendalian ekonomi dan sosial. Kita tahu bahwa politik agraria kolonial melahirkan dua pola pikir yang terus bertahan hingga kini, yaitu tanah sebagai sumber kapital bukan sebagai ruang hidup, serta Negara sebagai satu-satunya otoritas yang dapat memutuskan hak dan guna tanah.

Meskipun saat ini kita telah memasuki reformasi dan demokrasi, warisan kolonial tersebut tidak hilang, tetapi direproduksi melalui format baru yang (terlihat) modern, seperti sertifikasi massal, penataan ruang digital, hingga bank tanah. Dalam konteks semacam inilah kita perlu melihat keberadaan bank tanah sebagai bagian dari neoteknokratisasi penguasaan ruang yang berupaya mengemas kekuasaan dalam bahasa teknologi, data, dan efisiensi.

Penguasaan ruang (melalui bank tanah) sebetulnya bersandar pada logika bahwa negara lebih mengetahui “kepentingan umum” daripada warga negaranya. Dalam banyak kasus, logika inilah yang membuka ruang bagi pembangunan skala besar, investasi, dan infrastruktur yang mengabaikan partisipasi masyarakat lokal. Bank tanah, dari sudut pandang ini merupakan kelanjutan canggih dari kebijakan kolonial, bukan menjadi instrumen untuk mengoreksi kebijakan sebelumnya.

Secara konseptual, bank tanah adalah lembaga yang mengumpulkan, mengelola, dan mendistribusikan tanah sesuai kebutuhan negara. Hal ini terdapat pada bunyi Pasal 125-135 yang isinya bahwa Pemerintah pusat membentuk Badan Bank Tanah dimana Badan Bank Tanah merupakan badan khusus (sui generis) untuk mengelola tanah.

Di samping itu, Kekayaan Badan Bank Tanah merupakan kekayaan negara yang dipisahkan. Namun, definisi ini menyembunyikan struktur kekuasaan yang sangat besar. Bank tanah memiliki kewenangan untuk mengambil alih tanah terlantar, menyimpan dan mengendalikan stok lahan, menentukan prioritas pemanfaatan, serta memberikan lahan kepada pihak ketiga.

Dengan kewenangan seluas itu, bank tanah dapat berfungsi sebagai alat sentralisasi dengan cara melibatkan negara untuk memonopoli informasi, akses, dan pengambilan keputusan terkait tanah. Dalam teori politik, hal ini mengarah pada kondisi state overreach, yaitu negara yang melampaui batas perannya dan memasuki kehidupan warga secara mendalam. Efeknya adalah pengurangan posisi masyarakat sebagai subjek agraria.

Kondisi ini menyebabkan masyarakat tidak lagi menjadi pemilik ruang, melainkan hanya penerima keputusan. Dalam banyak kebijakan publik lain, sentralisasi dapat diperdebatkan. Namun, pada aspek agraria, sentralisasi hampir selalu berbahaya karena menyangkut sumber hidup, ruang budaya, dan kedaulatan lokal. Di sini tampak bahwa bank tanah bukan hanya soal kebijakan, tetapi sebagai instrumen kekuasaan baru.

Pseudo-Reform Agraria (Menggantikan Redistribusi dengan Administrasi)

Salah satu kritik paling tajam terhadap bank tanah adalah posisinya yang kerap dipresentasikan sebagai langkah reform agraria. Padahal keduanya sangat berbeda secara substansial. Reform agraria menuntut pembongkaran struktur kepemilikan feodal, pengurangan konsesi besar, distribusi tanah kepada petani yang tak bertanah, serta koreksi terhadap ketimpangan struktural. Sebaliknya, bank tanah bergerak pada ranah administratif dengan menitikberatkan pada inventarisasi, mengelola, dan menyalurkan tanah. Dengan kata lain, bank tanah mengganti agenda keadilan struktural dengan manajemen teknis.

Tentu saja hal ini menciptakan kondisi paradoks bahwa ketimpangan agraria tetap utuh, tetapi tampak seolah-olah ditangani. Begitu semua berjalan sesuai rencana, maka Pemerintah tinggal menyisipkan beberapa frase seperti “optimalisasi pemanfaatan tanah” atau “pemerataan akses”. Hanya dengan cara semacam itu bank tanah dapat terlihat seperti kebijakan progresif. Patut untuk dicatat bahwa cara-cara ini sebetulnya lebih merepresentasikan bentuk depolitisasi; membuat sesuatu yang sejatinya politis (ketimpangan struktural) menjadi tampak teknis.

Penting juga untuk dicatat bahwa setiap depolitisasi adalah bentuk kekuasaan. Bank tanah membuat negara tidak lagi hanya regulator, melainkan pemain besar dalam pasar tanah. Ia dapat membeli, menahan, menilai, dan menjual tanah. Hal ini menempatkan negara dalam posisi berbahaya. Negara menjadi wasit sekaligus peserta permainan. Risiko yang muncul antara lain adalah konflik kepentingan di mana Negara dapat merancang regulasi yang menguntungkan tanah miliknya sendiri.

Di samping itu, terjadi komersialisasi kebijakan publik di mana tanah untuk investasi besar lebih menguntungkan secara fiskal dibandingkan memberikan tanah kepada petani. Lebih jauh, kemungkinan dapat terjadi spekulasi jangka panjang di mana Negara dapat menimbun tanah sambil menunggu harga naik. Dalam situasi semacam ini, negara tidak lagi melindungi rakyat, tetapi bersaing dengan rakyat di pasar yang sama. Tanah publik berubah menjadi aset portofolio, yang kering dari nilai sosial, tetapi gemuk secara ekonomi. Maka jangan heran bila demokrasi ekonomi bisa saja melemah karena negara memihak modal, bukan warga negaranya.

Bank tanah kerap dipromosikan sebagai mekanisme pengadaan lahan tanpa konflik. Faktanya, yang hilang bukan konfliknya, tetapi suara korbannya.

Karena legalitas bank tanah cukup kuat, penguasaan lahan menjadi lebih mudah dibenarkan, bahkan ketika dampak sosialnya destruktif. Kita bisa melihat bagaimana komunitas lokal menghadapi beberapa risiko, seperti pemindahan paksa yang “sah secara administratif”, hilangnya akses ke lahan adat, hilangnya ruang ekonomi rakyat, serta pudarnya nilai budaya dan spiritual yang melekat pada tanah. Bank tanah menciptakan bentuk baru penggusuran, yaitu penggusuran yang tertib, rapi, dan terdokumentasi digital, namun tetap merampas hak warga. Inilah tragedi modernisasi di mana kekerasan dipoles menjadi prosedur.

Tanah merupakan sumber korupsi paling klasik, dan melalui bank tanah, peluang itu tidak berkurang, justru meningkat dan berubah bentuk. Risiko korupsi ini terletak pada manipulasi status tanah terlantar, permainan nilai tanah (mark-up dan mark-down), pemberian akses kepada investor tertentu, kolusi dalam proyek strategis nasional, dan penyembunyian data publik karena tanah dikonsentrasikan pada satu lembaga, maka korupsi menjadi lebih terpusat dan lebih sistematis. alhasil, oligarki tanah bukan hilang, malah dipindahkan ke dalam tubuh negara. Ketika negara dan oligarki menyatu, sulit membedakan di mana kebijakan publik berakhir dan di mana kepentingan pribadi dimulai.

Tanah bukan hanya objek ekonomi; ia adalah narasi sejarah dan budaya. Dalam banyak masyarakat Indonesia, tanah adalah makam leluhur, sumber ritual, ruang memori dan identitas, batas kosmologis antara manusia dan alam. Bank tanah mereduksi itu semua menjadi angka dan koordinat GPS. Keberadaan bank tanah melahirkan cara berpikir yang mengabaikan hubungan manusia dengan ruang hidupnya. Dalam perspektif antropologi, ini adalah bentuk dehumanisasi ruang yang menjadikan tanah sebagai barang tanpa jiwa.

Ketika nilai spiritual tanah hilang, manusia kehilangan sebagian dari kemanusiaannya. Maka persoalan bank tanah bukan hanya ekonomi, tetapi juga etika-ontologis, tentang bagaimana manusia diperlakukan oleh negara ketika ruang hidupnya direduksi menjadi properti administratif. Jika tren penguasaan lahan melalui bank tanah terus berlanjut, Indonesia menghadapi tiga risiko jangka panjang, yaitu ketimpangan agraria melebar karena tanah publik diarahkan ke investasi besar, masyarakat tanpa ruang hidup karena tanah tidak lagi dibagikan sebagai hak melainkan dialihkan sebagai aset ekonomi, serta demokrasi agraria akan melemah karena partisipasi publik digantikan oleh prosedur administratif.

Bank tanah sering dijelaskan sebagai terobosan untuk pembangunan nasional. Namun, bila dibaca secara kritis ia cenderung mengulangi pola lama, yaitu penguatan kontrol negara dan modal atas ruang hidup rakyat. Di sini, kehadiran bank tanah seakan mengganti perjuangan keadilan agraria yang politis dengan manajemen teknokratis yang rapi;

ia memoles kekerasan melalui prosedur. Jika Indonesia ingin mencapai keadilan agraria, tanah tidak boleh semata-mata berada di tangan lembaga teknokratis. Tanah harus kembali dilihat sebagai hak hidup, hak sosial, hak budaya, dan hak politik rakyat. Alternatifnya bukan sekadar reformasi bank tanah, tetapi demokratisasi tata ruang yang menempatkan warga sebagai subjek, bukan sebatas objek.

Selama negara memperlakukan tanah sebagai aset, bukan ruang hidup, maka bank tanah akan tetap menjadi alat kekuasaan. Dan selama itu pula rakyat akan terus berhadapan dengan negara yang ingin mengatur hidup mereka sampai ke akar bumi. Saat ini yang kita butuhkan adalah membangun keadilan ruang, bukan administrasi ruang!